Senin, 16 September 2013

KEBEBASAN KEPADA KEKUDUSAN

Salam jumpa kembali Saudaraku.Topik kita kali ini tentang kebebasan. Sering orang bertanya tentang apa itu kebebasan yang sejati. Akan tetapi, apakah ada kebebasan yang sebenarnya sejati di dunia ini? jawabannya tidak. Bisa dikatakan kebebasan hakiki itu sebenarnya semu, kita bebas atau merasa bebas dari satu hal yang mengekang kita selama ini tapi disadari atau tidak, tetap ada "syarat/batasan" yang harus kita terima atau lalui.

Wujud dari batasan itu memang beragam, tergantung dari jenis kebebasan yang ada. Seperti facebookers yang bebas menulis tentang apa saja, tapi tetap ada batasan salah satu contohnya tidak boleh menulis tentang kejelekan orang, kelompok atau golongan tanpa ada bukti hukum yang jelas. Begitu juga dengan berkomentar, dimana kita bebas mengomentari setiap tulisan orang lain, tapi tetap ada batasan dimana tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, berkata-kata kasar. Dengan adanya batasan ini, maka kita tahu apa kekurangan dan kelebihan dari proses pemecahan suatu permasalahan.


Penguatan Budaya

Paus Yohanes Paulus II, dalam Surat Ensiklik-nya Centesimus Annus, menjelaskan bahwa, "Individu saat ini sering terhimpit antara dua kutub yakni negara dan pasar." Saya secara pribadi tidak melawan kedua kutub tersebut melainkan mau mengatakan inilah realitas kita saat ini. Dan jalan keluar untuk mengatasi masalah modernisasi ini adalah penguatan budaya. 

Tidak bisa dipungkiri lagi kalau dunia politik dan ekonomi berperan cukup penting bagi kehidupan manusia. Ini adalah realitas kehidupan manusia dan masyarakat saat ini. Namun politik dan ekonomi hanya berurusan dengan aspek-aspek tertentu dari kehidupan manusia dan masyarakat. Budaya adalah aspek yang lebih mendasar, yang berkaitan dengan makna dan tujuan eksistensi manusia dalam jangkauan keutuhannya sebagai makluk sosial. Budaya mengekspresikan ide-ide dan sikap tentang semua pengalaman manusia yang khas, dan akan menyentuh misteri transenden yang membawa kita kepada kekudusan. 

Pada abad ini, peranan budaya telah sering terabaikan demi kepentingan politik dan juga ekonomi. Negara terkadang berusaha untuk menggunakan kegiatan olahraga, pendidikan, seni, komunikasi, atau agama untuk mendukung ideologinya. Atau, bisnis dan industri berusaha untuk mengubah kegiatan budaya menjadi sebuah “perusahaan” demi meraup keuntungan. Kecenderungan terakhir ini sangat nyata terlihat dalam sikap "konsumtif" masyarakat kita saat ini. Bagaimanapun juga budaya harus berorientasi pada benar, indah, dan baik. Setiap kali makna transendentalia ini diperalat guna mencari kekuasaan dan kekayaan akan berakibat pada peradaban yang terdegradasi. 


Peranan Gereja

Dengan melihat realitas modernisasi yang ada, Gereja menjadi kuatir karena tentunya hal ini akan berakibat pada hubungan antara manusia dan Tuhan. Mengingat relasi manusia dengan Tuhan juga mendapat pengaruh budaya itu sendiri. Kita percaya bahwa Allah telah menyatakan kebenaran-Nya, keindahan, dan kebaikan dalam inkarnasi Anak-Nya. Gereja, dengan merayakan kenangan akan kehadiran Kristus, masuk dalam upaya untuk membentuk manusia dalam semangat rasa syukur, cinta, dan pelayanan yang murah hati. Hal demikian memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan sebuah peradaban perdamaian dan cinta. Tanpa agama sebagai kekuatan yang independen, moralitas manusia dapat berubah menjadi alat bagi kekuatan politik dan pasar.


Pemahaman Kebebasan

Untuk masyarakat Barat, kebebasan sering didefinisikan dalam kaitannya dengan politik, sebagai kekebalan dari pengaruh kekuasaan negara. Dalam pandangan masyarakat Marxis, tekanan justru terletak pada kebebasan ekonomi, atau perlindungan diri dari manipulasi oleh kekuatan industri dan modal. Konsep-konsep kebebasan seperti ini terkesan tidak valid, tidak lengkap untuk ita pengikut Kristus.

Dalam pemikiran populer saat ini, kebebasan dipahami sebagai kemampuan untuk melakukan apa pun yang menyenangkan, tanpa batasan moral atau fisik. Pandangan populer ini seakan sewenang-wenang dalam mendefenisikan kebebasan yang menjadikan paham individualisme tanpa hambatan, yang tentunya akan menimbulkan kekacauan sosial, dan bertentangan dengan standar moral.

Gereja mengajarkan kepada kita bahwa kebebasan sejati adalah tidak sama dengan lisensi atau perijinan tanpa batas. Ini juga bukan kekuatan untuk melakukan apapun yang kita ingini tetapi lebih kepada untuk memilih apa yang baik. Moralitas bukanlah penghalang untuk kebebasan kita tetapi kondisi otentik realisasi dan pengaktualisasian diri. Tentunya bertujuan untuk membuat komitmen yang bertanggung jawab, bukan untuk meniadakan kebebasan kita tetapi untuk memenuhi tujuannya. Kebebasan itu sendiri sebenarnya terdiri dari penguasaan diri sendiri dan penentuan nasib terhadap diri sendiri. Kebebasan itu sebenarnya adalah pemberian. Hal ini diberikan kepada kita sehingga kita dapat secara sukarela merangkul dengan baik dan bijaksana kesejatian kita sebagai manusia. "Manusia dilahirkan bebas." Didalam kebebasan itu manusia menyempurnakan kelahirannya dengan total ketergantungan pada orang lain, tetapi seiring perjalanan waktu dan dengan pendidikan dan latihan, manusia secara bertahap memperluas zona kebebasannya. 


Kebebasan adalah Karunia

Dalam arti terdalam, kebebasan adalah karunia Allah karena kita tidak dapat membebaskan diri dari ilusi dan keinginan persona kita tanpa bantuan dan rahmat Ilahi. Karena itu Yesus dapat berkata: "Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membebaskan kamu" (Yoh 8:32). 

Allah tidak memaksa kebenaran-Nya dan rahmat-Nya kepada kita, akan tetapi rahmat Allah menjadi daya tarik tersendiri bagi kita untuk tidak menolaknya. "Lihatlah," katanya, "Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk" (Why 03:20). Allah menghormati kebebasan kita, namun ada kemungkinkan bagi kita untuk menyalahgunakannya dengan berpaling dari Dia dan bertindak melawan kehendak-Nya.


Kebebasan dan Tugas Hidup

Izinkan saya mengutip pesan Paus Yohanes Paulus II kepada para Artis: "...semua pria dan wanita dipercayakan dengan tugas dan keahlian dalam hidup mereka masing-masing, dalam arti tertentu mereka diberi kepercayaan untuk menghasilkan sebuah karya seni."

Tuhan, dalam menciptakan dunia, bertindak dengan penuh kebebasan dan tanpa sedikitpun tersirat kepentingan pribadi pada proses penciptaan. Tuhan benar-benar terberkati di dalam dirinya. Dia menciptakan dunia agar kita memiliki semangat berbagi yang tak terbatas terhdap orang lain. 

Dalam kehidupan kita, baik kehidupan jasmani maupun karunia-karunia rohani dan dengan keterbatasan yang kita miliki, kita sebenarnya berpartisipasi aktif dalam kesempurnaan Allah sendiri. Ketika kita mengalami kebebasan dalam membuat hal-hal baru sebenarya secara tidak langsung membawa kita ke dalam hubungan yang dekat dengan Allah Sang Pencipta. Karena kita melanjutkan karya penciptaan yang sudah dimulai oleh Tuhan dengan talenta yang kita miliki. 

Paus Yohanes Paulus II, yang adalah seorang penyair, dramawan, dan aktor sebelum menjadi Romo, sangat menghargai panggilan sebagai seniman. "Surat kepada Artists," juga mengajak kita untuk berefleksi lebih mendalam tentang pentingnya kebebasan berkreasi sebagai properti transendental, terlepas dari kebenaran dan kebaikan.


Kebebasan dan Kekudusan

Sebagai seorang Romo, Paus Yohanes Paulus II sempat membuat analogi antara kebebasan dan kekudusan. Orang-orang kudus mencerminkan kebebasan dan keilahian Kristus karena mereka mengikutinya dengan cara yang asli dan khas. Dengan bebas memberikan diri kita kepada Allah, meniru orang-orang kudus, kita semua dapat mengalami kasih karunia Tuhan dan menjadikan diri kita sendiri dalam keserupaan dengan Kristus. Sama seperti Yesus yang adalah Putra Tuhan, mencerminkan kemuliaan Bapa yang bersinar, sehingga setiap kehidupan manusia bisa menjadi ciptaan bebas yang sejati. 

By : Rm. Ferdinandus Reo, SDB (Kepala Sekolah SMPK. St. Mikael)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar